Bahkan, ketika di JI terjadi friksi, dia memihak ke Noordin. Kepada harian ini yang menemuinya di sebuah tempat di Johor Bahru, Malaysia. Abu menceritakan, pada sekitar tahun 2000, JI sempat mengajukan proposal resmi kepada sejumlah pejabat di lingkungan pemerintah Malaysia untuk membiayai jihad. Namun, ternyata proposal itu ditolak mentah-mentah.
Buntutnya meledaklah aksi fa'i (merampok golongan non Islam untuk membiayai jihad) terhadap Southern Bank di Petaling Jaya, Malaysia, pada 18 Mei 2001. "Momen itu yang mengawali pembubaran (pondok pesantren) Luqmanul Hakim dan penangkapan sejumlah tokoh-tokohnya dengan dalih Internal Security Act (ISA)," terang Abu yang juga salah satu link JI Malaysia di Johor itu.
Ketika Luqmanul Hakim dibubarkan, pondok pesantren (ponpes) tersebut dipimpin oleh Noordin M Top. Saat itu, ponpes -yang salah satu pendirinya Abubakar Ba’asyir- tersebut menjadi tempat belajar bagi sekitar 350 santri yang sebagian besar sedang menunggu giliran untuk dapat melanjutkan sekolah di Pakistan.
Pemerintah Malaysia pun mengobrak-abrik pondok pesantren di Sungai Tiram yang memiliki jaringan dengan jihadis Islam baik di Afganistan, Thailand Selatan, maupun di Mindanao, Filipina itu. Padahal jaringan itu dibentuk karena sebagian besar tenaga pengajar di sana adalah mantan jihadis di Afganistan dan sedang menunaikan dakwah ilmu agama.
"Alasan Luqmanul Hakim mengirim siswanya ke Pakistan adalah karena biaya pendidikan bagi santri sangat murah di sana. Itu saja," terangnya. Tekanan dari pemerintah Malaysia itu lah yang kemudian membuat berang para anggota JI (termasuk Noordin), sehingga mereka pun menyebar ke seantero Asia Tenggara dan menghindari penangkapan oleh pemerintah Malaysia.
Sayangnya, sebagian besar dari mereka justru terkonsentrasi di Indonesia dan kemudian menyebar teror terhadap kondisi keamanan nasional melalui aksi serangan bom bunuh diri di sejumlah tempat. Soal tekanan ini, dibenarkan oleh Juru Bicara Keluarga Noordin, Badaruddin Ismail. Menurut dia, tekanan yang bertubi-tubi termasuk serentetan penangkapan itu lantas membubarkan jaringan alumni jihad Afganistan tersebut.
Padahal, selama ini mereka tinggal dan berdakwah di Malaysia. Yang membuat mereka berbahaya adalah karena keahlian mereka yang terus melekat hingga ketika mereka tinggal di Indonesia. Dalam pelariannya mereka pun mengadopsi sistem rekrutmen tertentu. Setelah dipilih, satu atau dua orang dari masing-masing jaringan ini masuk ke dalam jaringan pribadi anggota baru untuk menggerakkan yang lain.
Mereka sering mengandalkan hubungan kekeluargaan, bisnis, tetangga, pekerjaan, ataupun sekolah maupun hubungan organisasi, meskipun kadang-kadang sulit untuk dibedakan. Di Indonesia, jaringan Noordin berafiliasi dengan anggota Darul Islam (DI) dan mantan alumni konflik Ambon yang tergabung dalam KOMPAK. Afiliasi yang dimaksud bukan dalam konteks organisasi melainkan perorangan.
Karena dua organisasi itu memiliki pemimpin yang secara ideologi tidak sepaham dengan Noordin yang memilih berjuang dengan bom bunuh diri. Tapi sejumlah kurir dan eksekutor aksi bom bunuh diri banyak yang berasal dari keluarga DI maupun alumni Ambon. Selanjutnya para sel JI ini membawa pola hubungan jihad kepada hubungan perkawinan dan hubungan bisnis di antara sesama anggota.
sumber : kp
0 comments:
Post a Comment