AKHIRNYA SUSNO SI BUAYA SI COPOT

Wednesday 25 November 2009
Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri akhirnya mengganti Kabareskrim Polri Komjen Pol Susno Duadji.Dia digantikan Irjen Pol Ito Sumardi Djuni Sanyoto yang semula Koordinator Staf Ahli (Koorsahli) Kapolri.

Pergantian Susno itu tidak lepasdari permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar ada pembenahan internalditubuhPolri, begitu juga di Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk selanjutnya, Susno Duadji akan non-job sebagai perwira tinggi Mabes Polri. “Ini bagian untuk mengakomodasi (permintaan) reposisi,”ungkap Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Nanan Soekarna di Mabes Polri, Jakarta, tadi malam.

Mengenai apakah pergantian Susno terkait dengan kasus pimpinan KPK nonaktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah,Nanan tidak mau menjelaskan. “Itu bukan kapasitas saya,”kata Nanan. Dia hanya memastikan,mutasi ini sudah dipertimbangkan di Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) Polri .Nanan juga menjawab sama ketika ditanya apakah ada keterkaitan penggantian Susno dengan kasus Bank Century.

Nanan menjelaskan, mutasi tersebut berdasarkan telegram rahasia (TR) tertanggal 24 November 2009. Dalam TR tersebut, Polri melakukan mutasi terhadap 25 orang terdiri atas 16 perwira tinggi dan sembilan perwira menengah berpangkat komisaris besar (kombes). D i h u - bungi harian Seputar Indonesia (SI) tadi malam,Ito Sumardi belum mau memaparkan langkahyangakan dilakukannya dengan jabatan baru.

“Belum kepikir, belum serah terima. Nanti kalau sudah terima aku pikir,” ujar Ito. Hanya saja, Ito menggaransi akan menjalin kerja sama dan memberi ruang seluas-luasnya terhadap media. “Jangan sampai hubungan kita dengan media ini menjadi sumbatan,” kata Ito tadi malam. Soal penanganan kasus Bibit dan Chandra, Ito mengelak menjawab,“Waduh, nanti dulu.”

Ito adalah lulusan Akademi Kepolisian tahun 1977. Dia pernah menjabat sebagai Kapolda Riau (2005–2006) dan Kapolda Sumatera Selatan (2006–2009) sebelum terakhir sebagai Koorsahli Kapolri. Dia dikenal sebagai salah satu intelektual di tubuh Polri dengan berbagai gelar akademis yang disandang. Ito lulus pascasarjana bidang administrasi bisnis,bidang manajemen sumber daya manusia, dan bidang hukum pidana.Tahun 2005, dia meraih gelar doktor hukum pidana dari Universitas Padjadjaran Bandung.

Merebak Sejak Pagi

Sebelum ada keputusan Mabes Polri, rencana pergantian Susno sudah merebak sejak kemarin pagi. Apalagi, Minggu (22/11), penasihat Kapolri Bachtiar Aly mengungkapkan rencana reposisi di tubuh Polri. Salah satu faktornya, ada sistem pendukung di tubuh Polri yang telah menjerumuskan lembaga kepolisian pada opini negatif karena sering memberikan informasi tidak akurat.

Bachtiar tidak ragu menyebut salah satu sistem pendukung yang merugikan Kapolri itu adalah Susno Duadji. Siang harinya, ketika rencana pergantian ini ditanyakan kepada para petinggi Polri, belum ada yang berani terbuka. “Itu urusan pimpinan,”kata Nanan. Nanan mengatakan, reposisi yang dimaksud juga belum spesifik. Karena jika yang dimaksud adalah reposisi struktural, kepolisian sudah melakukan itu sejak 1998 lalu. Sejak saat itu juga banyak polisi yang sudah dipecat dan ditindak.“

Yang dimaksud reposisi yang mana? Yang jelas reposisi polisi sudah sejak 10 tahun lalu, (yaitu) reposisi struktural, kultural, dan instrumental yang sedang berjalan saat ini. Sudah berapa banyak polisi brengsek itu dipecat,” ungkapnya. Nanan juga kembali mengelak saat ditanya apakah dirinya yang bakal menggantikan Susno sebagai Kabareskrim. “Waduh saya belum tahu,jangan berandai-andai,” jawabnya.

Setali tiga uang dengan Nanan,Wakadiv Humas Polri Brigjen Pol Sulistyo Ishak juga mengaku tidak mengetahui informasi tersebut.Wakabareskrim Polri Irjen Pol Dikdik Mulyana Arief Mansur juga memberikan jawaban sama saat ditanya hal itu.“Kabareskrim (masih) Pak Susno,”ujarnya. Meski terus menerus dibantah, rumor makin kuat setelah sejak siang Kapolri diketahui menggelar rapat dengan petinggi Polri.

Ternyata ini adalah rapat Wanjakti Polri. Susno sendiri tidak pernah bersedia meladeni pertanyaan seputar rencana penggantian dirinya. Kemarin, Susno masih berkantor di Bareskrim Mabes Polri. Saat pulang tadi malam sekitar pukul 19.00 WIB,Susno buru-buru masuk ke mobilnya Nissan Serena hitam F 1779 BI. “Wah saya nggak tahu. Nggak tahu,” ujarnya tentang rencana penggantian itu.

Selain Kabareskrim, jabatan penting lain yang mengalami pergantian antara lain Kadensus 88 yang semula dijabat Brigjen Pol Saud Usman Nasution digantikan oleh Kombes Pol Tito Karnavian. Sementara Kapus Provos yang dijabat Brigjen Pol Amin Saleh digantikan Kombes Pol Basaria Panjaitan. Brigjen Pol Amin Saleh dipromosikan menjadi Kapolda Sulawesi Tenggara.

Reposisi Ritonga

Seperti segerak seirama dengan Polri,Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan siap untuk menindaklanjuti instruksi Presiden untuk melakukan pembenahan dalam tubuh institusi. Sebagai langkah awal,Kejagung akan mereposisi Wakil Jaksa Agung nonaktif AH Ritonga. “Nanti Pak Ritonga akan kita rumuskan.

Karena kemarin Bapak Presiden memerintahkan untuk dilakukan pembenahan ke dalam,” ujar Jaksa Agung Hendarman Supandji di Gedung Kejagung, Jakarta,kemarin. Menurutnya, reposisi di tubuh Kejagung merupakan langkah pasti yang akan dilaksanakan olehnya sebagai Jaksa Agung.“Iya, tentu saja reposisi akan dilakukan,” tegas Hendarman.

Penanganan Bibit dan Chandra

Sementara itu,mengenai sikap Kejagung terhadap berkas perkara dua pimpinan nonaktif KPK, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan dirinya masih menunggu keputusan jaksa tentang nasib kasus Chandra M Hamzah. Menurutnya, keputusan itu baru keluar dua pekan ke depan untuk dapat menyatakan lengkap atau tidaknya berkas tersebut. “Diberi waktu 14 hari untuk merumuskan layak atau tidak untuk dilanjutkan ke pengadilan,” kata Hendarman.

Dia menjelaskan, jika berkas itu dinilai layak maju ke pengadilan atau dinyatakan lengkap (P21), baru bisa mengambil sikap apakah akan mengeluarkan kebijakan deponir demi kepentingan umum atau surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP). Dia menegaskan, Kejagung akan menindaklanjuti arahan SBY untuk tidak membawa kasus itu ke pengadilan dan sesuai dengan hukum yang berlaku,Kejagung akan mengeluarkan P16a.

Ia menjelaskan tim P16a itu terdiri atas empat jaksa dari Kejagung, tiga atau empat jaksa dari kejaksaan tinggi,dan dua jaksa yang ada di wilayah,yaitu Jakarta Selatan, karena perbuatannya ada di Jakarta Selatan. “Jaksa-jaksa itu yang akan memformulasikan apakah perkara Pak Chandra layak atau tidak, “ ujar Hendarman. Dia menjelaskan nantinya akan ada dua petunjuk yang diberikan dirinya selaku Jaksa Agung kepada dua jaksa penyidik.

Pertama, jaksa harus merumuskan dengan maksud, apakah tersangka bisa dirumuskan bertanggung jawab? “Itu yang merumuskan JPU (jaksa penuntut umum), bukan saya.Kalau tidak bisa merumuskan itu, memang sikap batin harus dirumuskan dengan alat bukti,” kata Hendarman. Sementara itu,kemarin Mabes Polri telah mengembalikan berkas perkara pimpinan nonaktif KPK lainnya, yaitu berkas Bibit Samad Rianto, ke Kejagung.

Selanjutnya berkas masih diteliti dan belum ada keputusan untuk dihentikan kasusnya. “Tadi pagi sudah diterima dan sedang diteliti jaksa,”ujar Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Effendy. Menurutnya, kemungkinan tindak lanjut perkara Bibit akan sama dengan tindak lanjut perkara Chandra.“Sama dengan berkas Chandra M Hamzah,”tambah Marwan. Kejagung akan tetap membuat kasus dua pimpinan nonaktif KPK itu lengkap atau P21.

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Nanan Soekarna menjelaskan,pada dasarnya sikap kepolisian terkait kasus Bibit dan Chandra sudah disampaikan secara tertulis kepada Presiden SBY.Namun dalam hal proses hukum, Polri tetap dalam koridor hukum meski tetap menghargai rekomendasi Tim Delapan.“

Polri tetap ingin bisa laksanakan dalam koridor hukum. Sekarang masalahnya adalah berkas Chandra sudah di kejaksaan, sudah lewat 14 hari kewenangan di kejaksaan,”kata Nanan. Sementara untuk berkas Bibit yang telah dilimpahkan lagi, kata Nanan, pihaknya juga berharap agar penyidik bisa menentukan sikapnya.“ Makanya kita lihat bagaimana nanti karena hukum harus melalui proses hukum,”ujarnya.

sumber : si
»»  READMORE...

Presiden Minta Kasus Bibit-Chandra Dihentikan

Tuesday 24 November 2009
SIMAK PRESIDEN, Wakil Pimpinan KPK nonaktif Chandra M Hamzah (kanan) ditemani kuasa hukumnya menyaksikan pernyataan Presiden SBY merespons rekomendasi Tim Delapan melalui televisi di Gedung KPK kemarin.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memaparkan solusi tegas atas polemik kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Dia meminta agar kasus ini dihentikan. “Solusi dan opsi lain yang lebih baik,yang dapat ditempuh adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan, dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan,” ujar Presiden SBY di Istana Merdeka, Jakarta, tadi malam.

Selain penghentian perkara, Presiden menggarisbawahi perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu, yaitu Polri, Kejaksaan Agung,dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Presiden menegaskan, solusi yang diambil ini akan lebih banyak manfaatnya dibandingkan mudaratnya. Namun, cara yang ditempuh harus tetap mengacu pada ketentuan perundang-undangan dan tatanan hukum yang berlaku.

“Saya tidak boleh dan tidak akan memasuki wilayah ini karena penghentian penyidikan berada di wilayah lembaga penyidik (Polri), penghentian tuntutan merupakan kewenangan lembaga penuntut (kejaksaan), serta pengesampingan perkara melalui pelaksanaan asas oportunitas merupakan kewenangan Jaksa Agung,”tandasnya.

Presiden menginstruksikan kepada Kapolri Jend Pol Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk melakukan penertiban, pembenahan, dan perbaikan di institusi masingmasing berkaitan dengan kasus ini. Presiden juga berharap KPK dapat melakukan hal yang sama.

Pernyataan Presiden tadi malam merespons rekomendasi Tim Delapan menyangkut kasus hukum Bibit dan Chandra.Saat memberikan keterangan pada pukul 20.00 WIB, Presiden didampingi Menkopolhukam Djoko Suyanto, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Mensesneg Sudi Silalahi, Menkominfo Tifatul Sembiring.

Kemungkinan SKPP dan SP3

Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan siap menjalankan keputusan Presiden SBY yang meminta kasus Bibit dan Chandra dihentikan. Kejagung akan mencarikan solusi terbaik dari dua opsi, yaitu deponering atau penerbitan surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP). “Kita akan menindaklanjuti dengan baik sikap Presiden.Sikap presiden itu tidak keluar dari koridor hukum terhadap berkas,“ kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Effendy saat dihubungi harian Seputar Indonesia tadi malam.

Saat ini berkas Chandra sudah ada di tataran jaksa peneliti. Sementara berkas Bibit masih ada di tangan penyidik kepolisian. Marwan menjelaskan,jika opsi deponering yang dipilih, harus ada persetujuan dari badan kekuasaan negara,termasuk DPR,Mahkamah Agung, dan pemerintah. “Itu susah,“ tegas Marwan. Untuk itu, menurutnya, kemungkinan besar penyelesaian kasus ini adalah melalui penerbitan SKPP.

Alasan pemilihan opsi SKPP ini,lanjut Marwan,karena lebih didasarkan pada masalah pertanggungjawaban pidana yang belum terlihat.Namun untuk dapat menyatakan berkas perkara itu SKPP, berkas itu harus dinyatakan lengkap terlebih dahulu atau P21. Setelah berkas dinyatakan lengkap oleh jaksa dan dilimpahkan ke penuntutan, berkas tersebut diteliti oleh jaksa penuntut umum.“Saat ini berkas masih ada di tataran jaksa peneliti,”ujar dia.

Kemungkinan besar, keputusan P21 dari Kejagung akan disampaikan paling lambat pada Rabu nanti sesuai dengan tenggat waktu yang dimiliki Kejagung. Penerbitan SKPP sesuai dengan Pasal 140 KUHAP di mana penuntut umum dapat menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum.

Kejaksaan pernah mengeluarkan SKPP untuk mantan Presiden Soeharto karena tidak mungkin diadili dengan alasan kesehatan. Adapun untuk berkas perkara Bibit Samad Rianto, Marwan mengatakan saat ini masih berada di tangan penyidik kepolisian dan wewenang sepenuhnya berada pada penyidik untuk memutuskan status berkas tersebut. “Berkas Pak Bibit itu wewenang Polri, kecuali kalau diserahkan kembali kepada kita,“ jelas Marwan.

Bagaimana tanggapan kepolisian? Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Sulistiyo Ishak mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti keputusan Presiden. Polri melihat Presiden tidak melampaui kewenangannya dalam arti tidak masuk pada wilayah proses hukum yang sedang ditangani Polri dan Kejagung. “Akan ditindaklanjuti, tapi hasilnya apa kita tunggu saja,”kata Sulistyo kepada harian Seputar Indonesia (SI) tadi malam.

Dia menjelaskan, apa yang telah disampaikan Presiden akan dirumuskan oleh tim di Polri. Jika nanti tim yang merumuskan tidak menemukan bukti yang kuat, dimungkinkan untuk dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).“Tapi yang jelas Presiden menyerahkan ke Polri dan Kejagung untuk menyelesaikan kasus ini,”ungkapnya. Polisi pernah mengeluarkan SP3 untuk kasus illegal logging yang dilakukan oleh 13 perusahaan kayu di Riau oleh Polda Riau akhir 2008.

Polisi juga pernah menerbitkan SP3 untuk kasus pidana Lumpur Lapindo oleh Polda Jatim. Sementara kemarin, Jaksa Agung Hendarman Supandji enggan ditemui wartawan di kediamannya di Jalan Denpasar Raya No 12 A,Kuningan, Jakarta Selatan, seusai Presiden mengumumkan sikapnya terkait rekomendasi Tim Delapan.

“Bapak lagi tidak mau ketemu dulu,kecapaian,tadi habis dari Istana. Besok saja kalau mau ketemu di kantornya, “ ujar sang penjaga rumah dinas tersebut. Begitu juga Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri,belum menyampaikan sikap meski ditunggu di kantornya,Mabes Polri.

Tanggapan Bibit dan Samad

Sebelum mengambil keputusan, siang kemarin Presiden sempat memanggil Bibit dan Chandra ke Istana. Kuasa hukum Chandra, Taufik Basari, membantah isu yang berkembang bahwa pemanggilan ini berisi permintaan agar keduanya mundur dari KPK,dengan catatan,kasus dihentikan.“Nggak ada permintaan mundur,” kata Taufik. “Saya nggak mau masuk ke sana (barter kasus atau tawar-menawar),” timpal Chandra.

Terkait pertemuannya dengan Presiden, Chandra mengatakan, Presiden mengungkapkan hal yang sama dengan pidatonya tadi malam.“ Tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan tadi,”imbuhnya. Tadi malam, Chandra dan kuasa hukumnya menyaksikan pidato Presiden lewat televisi di Kantor KPK. Meski mengaku tidak kecewa, Chandra tak bisa menutupi kekagetannya bahwa Presiden belum juga menegaskan mekanisme penghentian kasusnya.

Chandra pun mengaku masih mencoba menangkap maksud pernyataan Presiden. Sementara dirinya dan Bibit tidak memiliki pilihan dalam menyikapi kasusnya yang masih dalam proses hukum.“Saya dan Pak Bibit tidak dalam posisi punya pilihan karena kewenangan tidak ada pada kami,”ujar Chandra. Sementara Bibit menyaksikan pidato SBY di kediamannya,Kelurahan Pedurenan, Karang Tengah, Tangerang. Bibit menilai pidato SBY sudah jelas dan tegas, menghendaki agar kasus ini dihentikan.

“Saya sebelumnya sudah bilang bahwa saya ini tak pernah melakukan apa yang dituduhkan itu semua. Tetapi itulah sulitnya kalau sudah jadi tersangka,semua tidur saat saya bicara. Beruntung Gusti Allah tidak tidur,”ucapnya. Menurut Bibit, Presiden punya hak kontrol. Dalam penyataannya itu, apa yang dikatakannya bukanlah intervensi.

Dia sedang melakukan koreksi. “Kalau intervensi (adalah) jika kasus yang seharusnya lurus,lalu karena takut terkena orang tertentu dibengkokkan. Presiden memang hati-hati. Dia sadar SP3 itu bukan tugas dan kewajiban seorang presiden.Saya mengharapkan jika SP3 keluar, segera pulihkan nama saya,”tegasnya.

Ikuti Rekomendasi

Anggota Tim Delapan Hikmahanto Juwana mengatakan,pernyataan Presiden sudah sangat jelas bahwa rekomendasi Tim Delapan dilaksanakan.”Jadi memang sudah clear bahwa Presiden telah melaksanakan rekomendasi Tim Delapan,” kata Hikmahanto kepada harian Seputar Indonesia(SI) tadi malam. Sebelum Presiden SBY menyampaikan pidatonya,Tim Delapan juga melakukan pertemuan untuk membahas langkah-langkah yang dilakukan setelah pidato presiden.

Pertemuan digelar di Gedung Dewan Pertimbangan Presiden Jakarta. Hikmahanto mengatakan,pernyataan Presiden memang tidak langsung dikemukakan dengan lugas. ”Maka itulah butuh ditafsirkan,” katanya. Dia mencermati, ada empat pernyataan Presiden yang dapat ditafsirkan bahwa Presiden akan melaksanakan rekomendasi Tim Delapan. Pertama, Presiden mengemukakan jika kasus Bibit dan Chandra diteruskan, akan lebih banyak mudaratnya.

Kedua,Presiden meminta agar Polri dan kejaksaan melakukan penertiban dan pembenahan. ”Jadi memang tidak langsung meminta kasus Bibit dan Chandra dihentikan.Namun, pernyataan pembenahan itu mengarah ke situ (penghentian kasus Bibit dan Chandra),”katanya. Ketiga, dinyatakan bahwa kasus Bibit dan Chandra tidak hanya kasus hukum,tetapi juga berimbas pada aspek sosial.Keempat, Presiden memberikan kewenangan kepada lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan kasus Bibit dan Chandra.

Mantan anggota tim seleksi pimpinan KPK ini mengatakan, dengan pernyataan Presiden tersebut, tinggal bagaimana Polri dan jaksa melaksanakan perintah Presiden untuk menghentikan kasus Bibit dan Chandra. Di sisi lain,Hikmahanto mengungkapkan, pernyataan Presiden memang tidak terlalu lugas. Namun, hal itu perlu agar tidak ada pandangan bahwa Presiden berpihak.

”Kalau misalnya dikatakan secara tegas bahwa kasus Bibit dan Chandra dihentikan, nanti akan mengecewakan pendukung Polisi dan jaksa,”katanya.Maka,dia berpendapat apa yang dilakukan Presiden sudah tepat. Anggota Tim Delapan Komaruddin Hidayat mengatakan, dalam pernyataan pers terlihat bahwa Presiden SBY adalah pemimpin yang sangat hati-hati. Hal itu terlihat dari pernyataan Presiden terkait kasus yang menimpa Bibit dan Chandra.

Menurut Komaruddin, pernyataan Presiden merupakan bahasa politik yang dapat membingungkan. ”Tapi saya paham dengan bahasa politik yang digunakan bahwa Pak SBY memerintahkan Kapolri dan jaksa untuk menghentikan kasus Bibit dan Chandra. Ya memang yang dipakai bahasa politik karena kalau memakai bahasa hukum nanti dikatakan intervensi,” jelasnya kepada Seputar Indonesia tadi malam.

Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengungkapkan, saat ini tinggal bagaimana Polri dan jaksa memaknai pernyataan bahasa politik. Hanya saja, dia berpendapat, jika Polri dan Jaksa tidak paham dengan permintaan Presiden, dikhawatirkan mereka masih akan meneruskan kasus Bibit dan Chandra. Maka, jika hal itu dilakukan, dikhawatirkan akan timbul permasalahan yang lebih besar.

Dia memprediksi, jika kasus Bibit dan Chandra diteruskan, hal itu akan membuat masyarakat bergerak dan akan memunculkan masalah baru. ”Jika ini (kasus Bibit dan Chandra) permainan sepak bola,bisa saja masyarakat sebagai penonton kecewa dan nanti malah akan ikut menendang bola,” ujarnya membuat pengandaian.

Anggota Tim Delapan yang lain Amir Syamsuddin mengatakan bahwa apa yang dikemukakan Presiden sudah sangat jelas.Bukan saatnya lagi pernyataan Presiden dimaknai berputar-putar. ”Jadi Presiden sudah sangat jelas, maka tinggal bagaimana diterima dengan jelas pula,”katanya.

sumber : si
»»  READMORE...
 
 
 

About Me

My Photo
Ernesto Silangen
samarinda, kalimantan timur, Indonesia
View my complete profile

Followers

 
Copyright © Mahakam News