Penyembunyi Noordin Itu Mengaku Hanya Urusi Sapi

Friday 18 September 2009
Pria bernama Susilo alias Adib dikenal para tetangga sebagai pekerja yang mengurus ternak sapi di Ponpes Al Kahfi, Mojosongo, Kecamatan Jebres, Kota Solo, Jawa Tengah. Hal itu sesuai pengakuan Susilo sendiri kepada para tetangganya di Kampung Kepuh Sari RT 03 RW 10, Mojosongo.

Ternyata, Susilo bukan pekerja urusan ternak sapi biasa. Serangan Tim Densus 88 Antiteror ke rumah yang dikontrak pria berusia sekitar 24 tahun tersebut, Rabu (16/9) malam hingga Kamis dini hari, menunjukkan bahwa dia adalah bagian dari jaringan teroris paling diburu, Noordin M Top, sekaligus penyembunyi Noordin dan kawan-kawan.

Karena itulah para tetangganya merasa sangat kaget mengetahui kenyataan tersebut. “Seperti mimpi saja. Benar-benar tidak menyangka,” ujar Ny Sulini (34), yang tinggal persis di depan rumah Susilo ketika ditemui Surya, Kamis (17/9) sore.

Para tetangga juga tidak pernah tahu apakah Susilo sering didatangi banyak tamu. Kalaupun ada tamu, tetangga seperti Sulini dan suaminya, Pendi (34), juga tidak pernah merasa curiga apa-apa.

Meski jarang bertemu Susilo dan istrinya, Putri Munawaroh, Sulini menilai, pasangan yang tengah menanti kelahiran anak itu merupakan pasangan yang baik. Sebab, Susilo dikenal sebagai pria yang taat beragama dan bekerja di sebuah ponpes yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumahnya.

“Katanya dia bekerja di bagian urusan ternak sapi. Benar-tidaknya kami tidak tahu karena tidak ada yang pernah mengecek ke sana. Namun, selama ini orang-orang di sini percaya bahwa dia bekerja ngurusi sapi di Pondok Al Kahfi,” kata Sulini.

Menurut ibu rumah tangga tersebut, di ponpes Susilo lebih populer dengan nama panggilan Adib. Selama ini, Susilo sehari-hari lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah, dan para tetangga mengira bahwa Susilo pasti berada di ponpes manakala sedang tidak kelihatan di rumah.

“Saya jarang ketemu dia. Selain saya sendiri juga bekerja dari pagi sampai sore di tempat lain yang agak jauh dari rumah ini, yaitu di Widuran, saya dengar Pak Susilo jarang keluar rumah,” ujar Pendi, yang bekerja sebagai penjahit di sebuah pabrik konfeksi.

Informasi bahwa Susilo jarang bergaul diakui pula oleh Ketua RT 03 RW 10 Kepuhsari Suratmin. “Sejak dia mengontrak di rumah itu sekitar setengah tahun lalu, baru satu kali saya ketemu, yaitu waktu dia datang ke rumah saya melaporkan keberadaan dirinya sebagai warga baru,” katanya.

Suratmin menambahkan, Susilo datang ke rumahnya sesudah tiga bulan mengontrak rumah milik Sri Endarto tersebut. “Dia melapor setelah berkali-kali diingatkan warga lain. Jadi, bukan inisiatif sendiri. Itu pun setelah tiga bulan menjadi warga saya,” tutur Suratmin yang juga menjabat sebagai mudin di Kelurahan Serengan, Kecamatan Serengan, Solo.

Tatkala sowan ke Suratmin itu, Susilo menunjukkan KTP dirinya dan KTP sang istri, Munawaroh, serta menyerahkan fotokopi surat pernikahan. KTP Susilo dikeluarkan oleh pihak Kelurahan Pajang, Laweyan, Solo, sedangkan KTP Munawaroh dari Desa Banaran, Grogol, Kabupaten Sukoharjo.

“Satu kali itu saja saya ketemu Mas Susilo atau Mas Adib. Waktu itu dia datang ke rumah saya sore hari,” ujar Suratmin, yang sedang duduk bersama dua polisi saat ditemui Surya di sebelah timur rumah kontrakan Susilo, Kamis sore.

Suratmin menilai, warganya itu termasuk orang yang tak mau bergaul dengan warga lain, tak bersosialsasi dengan para tetangga. “Buktinya, setiap diundang ke arisan bapak-bapak yang diselenggarakan setiap tanggal 1, dia tidak pernah datang,” ujarnya.

Meski demikian, Suratmin, sebagaimana Sulini, tak pernah menyangka bahwa Susilo adalah anggota jaringan teroris. “Selama ini saya hanya mengira dia orang yang tertutup dan tidak mau bergaul,” katanya.

Suratmin juga menjelaskan bahwa Kepuhsari RT 03 RW 10 dihuni oleh 95 kepala keluarga. “Mayoritas dari mereka bekerja sebagai buruh,” kata Suparmin.

Kampung Kepuhsari merupakan kampung gersang yang terletak di Solo bagian utara. Di sebelah utara kampung tersebut terdapat Tempat Pembuangan Akhir Putri Cempo, sebuah tempat pembuangan akhir yang unik karena di sana terdapat banyak sapi pemakan sampah, termasuk sampah plastik.

Kampung tersebut termasuk sepi dan tersembunyi karena memang berada di kawasan pinggiran. Ketika Surya masuk mulut kampung ini, langsung teringat Dusun Beji, Kedu, Kabupaten Temanggung, yang awal Agustus lalu dipakai sebagai tempat persembunyian Ibrohim, yang akhirnya tewas diserbu Densus 88 Antiteror. Bedanya, suasana Beji sejuk karena daerah pegunungan, sedangkan Kepuhsari panas dan gersang.

Setelah penembakan Noordin dan kawan-kawan, kampung itu menjadi lebih “panas”. Kamis sore, misalnya, ratusan warga berkerumun di sana untuk menyaksikan kondisi rumah Susilo yang rusak berat. Selain itu, banyak polisi berada di sana.

Hal lain yang membuat para tetangga menilai keluarga Susilo adalah keluarga baik-baik meskipun tertutup adalah keberadaan Munawaroh (20). Pasalnya, sejak tinggal di rumah kontrakan tersebut, istri Susilo yang kini hamil empat bulan tersebut juga menyelenggarakan Taman Pendidikan Al Quran (TPA) bagi anak-anak di kampung tersebut, termasuk untuk dua anak Sulini, Yupi (10) dan Nanda (6).

Hanya, menurut Sulini, ada yang sedikit “aneh” dengan TPA tersebut, anak-anak pesertanya selalu diajar di emperan rumah lantaran pintu rumah Susilo senantiasa tertutup. Hal itu terlihat jelas dari rumah Sulini karena rumah ini lebih tinggi daripada rumah Susilo.

“Pintu rumah mereka selalu tertutup. Tanpa datang ke sana, saya bisa tahu bahwa rumah itu selalu tertutup karena gampang dilihat dari sini,” katanya seraya menunjukkan tangan ke arah rumah Susilo yang kini rusak berat dan ditutup seng dan dipasangi police line oleh Densus 88 Antiteror.

Ny Darmi (40) yang ditemui terpisah juga mengisahkan bahwa TPA ala Munawaroh itu dilakukan di emperan rumah. Anak Darmi, Devi (9), juga ikut TPA tersebut sehingga Darmi tahu banyak tentang TPA Munawaroh. “Kadang-kadang anak-anak sekitar 15 orang yang ikut TPA itu juga diberi makanan kecil,” katanya.

Selain itu, Munawaroh juga pernah melakukan acara berbuka puasa bersama. “Namun, buka bersama tersebut tidak dilakukan rumahnya, melainkan di rumah tetangga sebelahnya, Bu Mijan,” kata Darmi.

Menurut Sulini, kegiatan TPA di emperan rumah Susilo dilaksanakan tiga kali sepekan, yaitu setiap Senin, Selasa, dan Kamis sore mulai pukul 16.00. Munawaroh tidak mengharuskan anak-anak peserta TPA itu membayar iuran dengan jumlah tertentu.

“Namun, kami sebagai orangtua anak-anak yang ikut TPA merasa wajib memberi infak mesti hanya sedikit, yaitu Rp 1.000 setiap minggu. Kadang-kadang kalau tidak punya uang saya tidak memberikan infak,” kata Sulini.

Mengenai penampilan sehari-hari Munawaroh, Sulini menjelaskan, jika di rumah atau berada di seputar kampung, istri Susilo tersebut mengenakan jilbab biasa. “Tapi kalau pergi dengan suaminya, dia pakai cadar. Mereka biasanya pergi naik sepeda motor,” paparnya

sumber : k

0 comments:

Post a Comment

 
 
 

About Me

My Photo
Ernesto Silangen
samarinda, kalimantan timur, Indonesia
View my complete profile

Followers

 
Copyright © Mahakam News